Melihat Hip-Hop Kini Bersama Doyz

Doyz, nama yang sudah tidak asing lagi dalam skena hip-hop tanah air. Ia merupakan rapper yang pernah tergabung dalam grup seperti Blakumuh dan P-Squad di era 90’an. Tercatat, Doyz memiliki dua album solo yaitu “Perspektif” dan “Oblivion”. Kami berkesempatan berbincang denganya, bertanya tentang album keduanya, hingga melihat hip-hop di masa sekarang.

1. Halo Doyz, bagaimana kesibukanmu akhir-akhir ini?

Halo juga Wadezig! Kesibukan saya masih klasik; Membagi waktu antara pekerjaan harian, keluarga, dan passion dalam berkarya 🙂 Standart lah.

2. Sempat vakum dan kembali menggebrak dengan re-issue album debut “Perspektif”, tak lama merilis album kedua “Oblivion”. Pertanyaannya, kenapa dari album pertama dan kedua harus melalui proses vakum terlebih dahulu? Apakah selama vakum benar-benar lepas dari hip-hop dan bermusik?

Setelah album pertama (Perspektif), secara personal, saya sebenarnya sudah tidak berniat untuk melanjutkan perjalanan bermusik lagi. Artinya pasca rilis album pertama tersebut, saya lebih memilih untuk menjadi penikmat ketimbang praktisi. Banyak hal yang bersifat pribadi yang saat itu ingin saya kejar. Boleh di bilang, ada kekosongan yang lama saya abaikan, saat saya malang melintang berkarir dalam dunia Hip Hop. Oleh karena itu saya berniat untuk mengisinya. Yang jelas, ini menjawab pertanyaan anda, bahwa sebagai penikmat, saya tidak benar-benar lepas dari Hip Hop. Bahkan saya malah menggunakan segala keistimewaan yang saya miliki saat saya tinggal di benua jauh di bawah alias Australia, untuk lebih banyak mempelajari literatur Hip Hop itu sendiri, dengan cara apapun, baik mengoleksi rilisan bentuk fisik, maupun kerap mendatangi konser-konser praktisi Hip Hop asal Amerika. Di sana saya justru mendapatkan banyak pelajaran yang tidak saya dapatkan di tanah air.

doyz_thumb1

Kemudian di awal tahun 2014, adalah Budi, kawan lama saya (co-producer album Perspektif/Baturaja records), yang datang membawa agenda unttuk merilis ulang album Perspektif, yang nota bene, niatan ini sudah pernah di layangkan oleh Ucok dan Grimloc records nya dua tahun sebelum Budi datang membawa niatan tersebut, namun jawaban final dari saya tak kunjung keluar. Saat Budi menerangkan niatan yang sama dengan pihak Grimloc, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk kemudian menerima tawaran tersebut dengan dua syarat; 1. Harus ada lagu baru, 2. Grimloc records wajib di libatkan. Seiring perjalanan, niatan untuk rilis ulang album perspektif dengan tambahan dua track baru berkembang, seiring semakin bertambahnya bank lagu yang sudah di rekam. Maka kami putuskan, untuk memisahkan track-track baru dengan materi track lama dalam album Perspektif ke dalam dua rilisan yang berbeda; Perspektif reissued & remastered serta Oblivion. Bisa di bilang, Oblivion hadir dari perkembangan ide. Bukan sengaja di konsepkan sejak awal.

3. Mengenai album kedua “Oblivion,” apa yang ingin diceritakan di album tersebut?

Sesuai judulnya yang secara literal berarti “Pelupaan”, album ini adalah sebuah bentuk penyadaran baik kepada orang-orang di sekitar, sekaligus sebuah otokritik bagi diri saya sendiri, yang telah sink into oblivion; Tenggelam dalam pelupaan. Mulai dari pelupaan makna hip hop yang semakin tergerus oleh perlombaan pencarian jati diri dan pamor, hingga pelupaan akan isu-isu sosial politik baik lokal mapun global, yang kini semakin pudar di telan hingar bingar update status dalam media sosial, maupun pencitraan yang terlalu berlebihan. Bukan hanya untuk orang lain, Oblivion juga saya bidik untuk menembak kepala saya sendiri. Oleh karena itu, bagi saya album ini sifatnya sepuluh kali lebih personal dari album Perspektif.

11221975_919346488131018_28566748425122462_o

4. Apakah hip-hop masih menyenangkan seperti tahun 90’an?

Tergantung dari sisi mana melihatnya. Jika melihat dari sisi kualitas, jelas Hip Hop era kini banyak mengalami deklinasi. Di sini saya menitik beratkan kepada kualitas talenta para praktisinya. Kualitas talenta pas-pasan inilah yang membuat Hip hop berada pada titik jauh di bawah era 80 atau 90’an. Lucunya mereka-mereka ini begitu di elu-elukan oleh generasi akhir zaman. Yang jelas para praktisi ini dalam opini saya begitu minim pemahanan akan bagaimana sejarah hip hop. Sangat di sayangkan jika pahlawan mereka hanya sebatas Eminem dan Lil Wayne. Padahal era 80’an pertengahan hingga 90’an akhir adalah masa keemasan dalam hip Hop.

12006078_912689542130046_2517077829758598266_n

5. Sebagai seorang rapper, bagaimana lirik bekerja dalam suatu lagu?

Jika musik rap di analogikan sebagai anatomi sepucuk senapan, maka lirik adalah pelurunya. Rap adalah sebuah gaya bertutur; jelas lirik adalah ujung tombaknya. Tanpa lirik bernas dan trengginas, sedahsyat apapun beat yang anda buat, hanya akan mampu membuat orang manggut-manggut tanpa kesan, karena pesan yang anda sampaikan terlalu tumpul untuk bisa menembus pikiran pendengar anda.

6. Antara Blakumuh (atau grup lainnya) dan berkarir solo, mana yang membuat Doyz lebih nyaman?

Ini relatif sekali. Keduanya mempunyai tingkat kenyamanan yang berbeda. Meskipun tidak bisa di pungkiri, dalam Doyz saya merasa begitu nyaman karena saya tidak perlu terlalu berkompromi dalam membuat konsep lagu.

7. Di awal tahun portal hiphopindo.net merilis list #RapperBerbahaya2015 yang berpotensi melejit di tahun 2016, pandangannya? Adakah di list tersebut yang Doyz favoritkan?

Sebagai portal yang mengklaim sebagai representasi hip hop lokal, wajar saja jika mereka ingin membuat list rapper muda potensial seperti itu. Namun akan lebih baik lagi, jika mereka bisa memberikan informasi mengenai konteks “berbahaya” di sini. Omong-omong, yang saya favoritkan di situ adalah Sonjah, Catapults, Regia oskar, Jagal sangkakala, Ogre, dan Ariel Nayaka.

11987071_912689332130067_3919325269430171183_n

8. Kalau ada 8 lagu favorit sepanjang masa, soundtrack, atau yang sering didengarkan akhir-akhir ini apa saja itu? Dan cerita di balik lagu tersebut?

1. Bring the Noise – Public Enemy
2. Someday We’ll All Be Free – Donny Hathaway
3. Sailing – Christopher Cross
4. Futurama – Non Phixion
5. Check the Rhyme – a Tribe Called Quest
6. Stay Gold – Stevie Wonder.
7. Revolutionary – Immortal technique
8. 31 Bumrush – Artifacts

Itu delapan favorit lagu saya sepanjang masa. Semuanya memiliki cerita masing-masing sebagai soundtrack kehidupan. Mulai dari kenangan belajar nge-rap kala masih di sekolah dasar, Kenangan bergulat menahun di negeri orang, hingga proses pencarian kawan hidup yang aduhai sulitnya. 🙂

Pilihan lagu Doyz ini kami kompilasi dalam WADEZIG! MondayMix vol. 52, dengarkan di sini.

9. Katanya hip-hop itu punya empat elemen yang tidak bisa dipisahkan; Rap, DJ, B-Boy, Graffiti. Nah, menyoal graffiti bagaimana Doyz melihat seni ini? Terkait graffiti di jalanan, orang-orang terbelah pandangannya, ada yang menyebut “vandal” dan sebagian lainnya menyebut “karya seni”, menurut Doyz?

Hip hop lahir dari pembangkangan atas keterbatasan, akan ketimpangan sosial, apapun sub elemennya. Pun dengan graffiti sebagai salah satu pondasinya; sering kali di gunakan sebagai tools untuk mengapresiasikan pembangkangan tersebut. Menurut saya, tidak perlu terlalu di permasalahkan jika graffiti di cap sebagai vandal sekalipun, selama substansi seni tersebut masih menjunjung nilai-nilai kemurnian yang di bawa sejak hip hop lahir. Jangan terliput dalam kabut stigma. Selama kata “vandal” di suarakan oleh mesin pengeras suara sebuah sistem yang korup, maka sajikanlah kepada sistem tersebut sebuah vandal yang tidak bisa mereka lupakan.

12045663_912689302130070_7017085499182990087_o

10. Apa pendapat Doyz tentang slogan “support your local (scene, music, industry, atau apapun itu)”? Setuju harus support? Atau seharusnya tidak ada pembatasan lokal atau non-lokal?

Setuju. Namun tetap saja kualitas yang utama. Bagi para praktisi nya, tak perlu teriak-teriak dan memarahi kawanmu yang tidak membeli karya mu karena memang karya mu jelek, dan belum layak dengar/tonton/pakai. Artinya naikkan dulu skill mu, presisikan hasil karyamu, asah aksi panggung mu, baru kau bisa teriak dengan lantang di label kemasan album mu; Support your local.. whatever. Di era instan digital macam sekarang, saya rasa hanya harga tiket sebuah gig yang membawa pembatasan lokal atau non lokal. Secara apresiasi, saya melihat kabut pemisah tersebut sudah mulai pudar. Artinya, eagerness untuk mendengarkan, menonton aksi, dan membeli produk lokal sudah jauh lebih baik dari era 90’an.

11. Terakhir, silahkan apabila ada yang ingin dikespresikan, disuarakan, diungkapkan, atau apapun itu untuk menutup wawancara ini?

Haha..saya rasa saya sudah banyak menyampaikannya di atas. Intinya jika ingin menjadi seorang praktisi seni, berkaryalah dengan hati. Pelajari akar seni yang anda geluti, know the ledge. Terima kasih banyak untuk Wadezig! atas kesempatannya.

Sumber gambar:
Baturaja Records
Grimloc Records
facebook.com/doyzdanoyz/


Posted

in

by

Tags: