“A crown is worn by a monarch as a symbol of sovereignty often made of precious metal and ornamented with valuable gems. FAB Family interprets it as a stage where one has mastered its own style of art”
Mahkota digambarkan sebagai simbol kekuasaan dan otoritas atau tanda kemenangan. Dalam street art, penempatan mahkota pada sebuah gambar menandakan pencapaian. Seseorang yang menandai gambarnya dengan mahkota biasanya disebut King, dengan kata lain orang tersebut memiliki posisi penting dan menjadi kompetitor bagi yang lain.
Beberapa tahun belakangan, banyak tag dan kelompok yang silih berganti menghiasi ruang kota Bandung, begitu pula dengan FAB yang sukses menguasai scene street art dengan karya mereka sejak 2005. Kini walau keluarga tersebut terpisah satu sama lain, hanya 2 yang tersisa di Bandung, tidak bisa dipungkiri nama mereka masih eksis hingga kini. Sebelumnya di tahun 2010 mereka mengembangkan estetika mereka di ruang publik dan memindahkannya ke white cube (ruang pamer) dan Ucok Homicide selaku kurator menegaskan bahwa “Semua bomber mengamini bahwa tak ada yang bisa menggantikan keringat malam, pegalnya jemari, adrenalin rusuh dan kepuasan menghajar kebosanan-kebosanan tembok yang dihasilkan ruang-ruang publik urban”
Belum merasa puas, mereka kembali tergoda untuk mengeksplor konsep King dan Crown berikut dengan pemaknaannya dan mendatangi GarduHouse. Penjelasan mereka terbagi menjadi dua konteks: pertama, terkait dengan simbol dimana mahkota dipakai sebagai representasi di jalanan. Bagi FAB, mahkota adalah metafora, hiasan dalam street art yang simbolik juga gagasan representatif dari setiap karya terbaik yang pernah dibuat di jalan. Saya ikut tertarik untuk mempertanyakan konsep tersebut; apakah hanya dengan cukup menggambar sebuah mahkota kemudian mengklaim diri sebagai King?
Kedua, mahkota yang berhubungan dengan image.
“The greatest achievement of a writer is to be up a lot and to be at the same time a master of style. Still, an artist no matter how good he is cannot be king on the basis of only a few beautiful cars. He must succeed over and over again in order to maintain his position” (Martha Cooper & Henry Chalfant, Subway Art. An Owl Book. 1984)
Beberapa mengklaim dirinya sebagai King hanya dengan membubuhkan gambar mahkota di karyanya, adapula yang benar-benar mendapatkan pengakuan karena kemampuan, prestasi atau eksistensi dalam scene dan sisanya mungkin hanya klaim diri yang sia-sia. Penerimaan seperti apa dan bagaimana? Pengakuan yang didapat dari luar diri sendiri haruslah nyata dan bisa dipertanggungjawabkan dalam kehidupan sosial seterusnya dipahami sebagai pengetahuan yang benar dan diterima oleh semua kalangan. Menjadi Ada adalah hasil konfirmasi pihak luar atas pengakuan eksistensi. Menjadi diakui adalah eksis.
Dalam pameran ini, FAB mendominasi galeri dengan warna Black White Gold, sebelum mengeksekusi karyanya, mereka mengembangkan gagasan dan ide untuk memahami makna mahkota bagi masing-masing, atau dengan kata lain, Interpretasi. FAB mempelajari konsep dasar atas representasi dan sisi auratis mahkota dengan menggambarkannya dari sudut pandang mereka.
Penafsiran ulang ini menjadi perspektif penting, karena kita bisa melihat dari pertanyaan yang mereka ajukan terhadap diri sendiri akan hal-hal yang sifatnya denotatif dan refleksi nilai keberadaan mereka sebagai street artist. Pengalaman mereka untuk membawa gagasan street art ke dalam tingkat yang berbeda tidak hanya berhenti di ruang pamer, FAB dengan sadar meminta kita untuk menikmati perjalanan imajinatif diluar ruang, karya, dan pemirsanya atau mungkin street art itu sendiri.
Ini bukan penolakan atas sesuatu yang sudah establish, mereka sedang memaknai ulang seberapa penting sebuah nilai sedang diuji. KING WITHOUT A CROWN saya maknai sebagai keberhasilan mereka dalam berkarya, tidak lebih, karena sebenarnya mereka sudah tidak peduli pada apapun. Selanjutnya FAB dengan senang hati mengundang kita untuk melihat pameran yang sebenarnya.
Opening Night Recap Part 1
Opening Night Recap Part 2